Risalah Lengkap Tentang Haid dan Hukum-Hukum Seputarnya (Plus Cara Mandi Besar)
September 2, 2005. Dikirim dalam Uncategorized | 3 komentar
Banyak wanita yang bingung
dengan masa haidnya, ada yang bilang haidnya terputus-putus, sampai dia
harus keramas beberapa kali. Ada yang mengalami perubahan siklus, kadang
maju kadang mundur. Bahkan banyak juga wanita yang masih bingung
membedakan antara darah haid dan istihadhah. Tulisan dibawah ini
berusaha mengupas lebih detail tentang darah-darah kebiasaan wanita
diatas. Berilmu tentangnya sangat diperlukan bagi wanita, karena
hukum-hukum seputar darah tersebut berkaitan langsung dengan hukum
shalat, puasa, haji, pernikahan dan warisan. Cukup lah yang disebut
wanita cerdas itu wanita yang tahu kebutuhan dirinya untuk akhiratnya.
Haid dan Hikmahnya
Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut istilah Syara� ialah darah yang terjadi pada wanita secara alami,
bukan karena sesuatu sebab, dan pada waktu tertentu. Pembatasan pada
pengertian terakhir ini sangat diperlukan, untuk dapat membedakan antara
darah haid, istihadhah dan nifas. Dimana ketiganya lazim dialami oleh
kaum wanita. Darah haid bersifat normal, bukan disebabkan oleh suatu
penyakit, luka, keguguran atau pun kelahiran.
Seperti yang kita ketahui, darah haid berasal dari
penebalan dinding rahim untuk mempersiapkan proses pembentukan janin
yang nantinya berfungsi sebagai sumber makanan bagi janin yang ada dalam
kandungan seorang ibu. Oleh karenanya, seorang wanita yang hamil, tidak
akan mendapatkan haid lagi, Begitu juga dengan wanita yang menyusui,
biasanya tidak akan mendapatkannya terutama diawal masa penyusuan.
Adapun hikmah yang bisa kita petik didalamnya adalah Maha Mulia Allah,
Dialah sebaik-baiknya pencipta, yang telah menciptakan gumpalan darah di
rahim seorang ibu sebagai sumber makanan instant bagi janin didalamnya,
yang tentu saja dia belum bisa mencerna makanan apalagi mendapatkan
makanan dari luar kandungan. Maha Bijaksana Allah Subhanahu wa ta�ala
yang telah mengeluarkan darah tersebut dari rahim seorang wanita yang
tidak hamil melalui siklus haid karena memang tidak membutuhkannya.
Dengan begitu, kondisi rahim seorang wanita akan selalu siap bila ada
janin didalamnya.
Usia dan Masa Haid
Haid pada umumnya dialami oleh seorang wanita pada
usia antara 12 sampai dengan 50 tahun, walaupun hal ini bukanlah batasan
yang pasti. Para ulama, rahimahullah, berbeda pendapat tentang
hal ini. Ad-Darimi, setelah menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah
tersebut, menyatakan: “Hal ini semua, menurut saya, keliru. Sebab yang
menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapapun adanya, dalam
kondisi bagaimanapun, dan pada usia berapa pun, darah tersebut wajib
dihukumi sebagai darah haid. Wallahu a�lam.” Pendapat ini didukung oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi usia haid tergantung dengan keberadaan darah haid itu sendiri,
tidak dibatasi usia tertentu. Dan ini menjadi sandaran hukum atasnya
karena memang tidak ada dalil yang memastikan pembatasan usia wanita
yang mengalami haid.
Adapun masa terjadinya haid, para ulama juga berbeda
pendapat. Ibnu Mundzir mengatakan: “Ada kelompok yang berpendapat bahwa
masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”.
Pendapat ini didukung juga oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan
memang itulah yang benar berdasarkan Al Qur�an, Sunnah dan logika.
Dalil-dalilnya sebagai berikut:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah:”Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah
kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu
mendekati mereka sebelum mereka suci�” (Al-Baqarah:222)
Yang dimaksud “jangan mendekati” disini adalah dilarang jima�/senggama ketika wanita tersebut sedang mendapatkan haid.
Dalam ayat diatas diterangkan oleh Allah bahwa yang menjadi batas akhir larangan adalah “kesucian”,
bukan berlalunya waktu sehari, dua hari, atau pun lima belas hari. Hal
ini menunjukkan bahwa batasan masa haid tergantung pada ada tidaknya
darah tersebut, karena setelah darah tersebut berhenti mengalir maka
wanita dikatakan telah masuk masa suci.
Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasannya Rasulullah
Shalalahu �alaihi wassalam bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid
ketika ihram untuk umrah:
“Lakukanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di ka�bah sebelum kamu suci”.
Dan berkata Aisyah:”Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci”.
Hadist ini juga menyatakan bahwa yang menjadi batas akhir larangan (karena haid) adalah “kesucian” itu sendiri.
Adapun dalil secara logika adalah, jika Allah
menerangkan bahwa haid itu kotoran, maka pada waktu kotoran itu ada,
maka haid itu pun ada. Tidak tergantung pada hukum kepastian berapa lama
masanya. Jika terjadi silang pendapat diantara ulama yang memberikan
batasan berapa masa haid, hal ini justru menunjukkan bahwa tidak ada
dalil yang menjadi patokan adanya pembatasan masa tersebut. Namun, semua
itu adalah ijtihad yang bisa benar dan juga bisa salah. Sehingga tidak
ada yang menjadi lebih baik daripada yang lainnya diantara
pendapat-pendapat tersebut. Dan kembali kepada hukum awal, jika ada
perselisihan dalam penentuan hukum syar�i maka penyelesaiannya adalah
kembali kepada kitabullah dan sunnah yang memang tidak menjelaskan
adanya dalil pembatasan masa haid. Jika memang Allah menentukan masa
yang pasti untuk haid, maka Allah dan Rasul-Nya pasti akan menjelaskan
secara gamblang, hal ini penting sekali, sebab masa haid berkaitan
dengan hukum-hukum ibadah yang lain seperti shalat, puasa, haji, nikah,
talak, warisan. Ini lah pendapat yang paling rajih di kalangan ulama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim
adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu
Istihadhah.”
Mengenai darah istihadhah dan juga nifas akan dibahas
lebih lanjut. Sehingga alangkah perlunya bagi kaum wanita untuk dapat
membedakan antara darah haid, istihadhah dan juga nifas.
Masa Haid yang Tidak Teratur
Ada beberapa wanita yang mengeluh masa haidnya
biasanya enam sampai tujuh hari, tetapi tiba-tiba berubah sampai lebih
dari masa kelaziman tersebut. Ada juga yang mengeluh, biasanya waktu
haidnya diawal bulan, berubah menjadi diakhir bulan. Sebagian lagi
mengalami masa haid yang terputus-putus, sehari haid, kemudian sehari
berhenti, besoknya haid lagi dan seterusnya. Untuk lebih detail akan
dibahas dibawah ini tentang kondisi-kondisi tak lazim diatas.
a. Bertambah, berkurang, maju dan mundurnya masa haid
Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi
ketidaklaziman ini. Namun, bertolak dari pendapat yang paling rajih
bahwa hukum haid dikaitkan dengan keberadaan haid itu sendiri, maka
pendapat yang benar adalah seorang wanita jika mendapatkan darah (haid)
maka dia berada dalam masa haid, dan jika tidak mendapatkannya maka dia
dalam keadaan suci, meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari
kebiasaannya serta maju atau mundur dari waktu kebiasaannya.
Pendapat diatas merupakan madzab Imam Syafi�i dan
menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ibnu Qudamah Al-Hanbali
(pengarang kitab Al-Mughni) pun ikut menguatkan pendapat ini dan
membelanya dengan menyatakan:”Andaikata adat kebiasaan menjadi dasar
pertimbangan menurut yang disebutkan dalam madzab, niscaya dijelaskan
oleh Nabi Shalalllahu �alaihi wassalam kepada umatnya dan tidak
ditunda-tunda lagi penjelasannya, karena tidak mungkin beliau
menunda-nunda penjelasan pada saat dibutuhkan. Istri-istri beliau dan
kaum wanita lainnya pun mebutuhkan penjelasan tersebut, maka beliau
tidak akan mengabaikannya. Namun, ternyata tidak ada riwayat yang
menyatakan Rasulullah shalallahu �alaihi wassalam pernah menyebutkan
tentang adat kebiasaan ini atau menjelaskannya kecuali yang berkenaan
wanita yang istihadhah saja”.
b. Darah haid yang keluar terputus-putus, misalnya,
hari ini keluar, besok tidak keluar, atau yang sejenisnya. Dalam hal ini
terdapat 2 kondisi:
Kondisi pertama, jika hal tersebut selalu
terjadi pada seorang wanita setiap waktu (bukan masa haid), maka darah
itu adalah darah istihadhah, dan berlaku baginya hukum istihadah.
Kondisi kedua, jika hal tersebut tidak
selalu terjadi atau kadangkala saja datang dan mempunyai saat suci yang
tepat (berdasarkan kebiasaannya setiap bulan), maka menurut pendapat
yang paling shahih, jika belum keluar lendir putih sebagai tanda masa
haid berakhir, masa tersebut (masa darah terputus) masih dihukumi masa
haid. Karena jika masa terputus tersebut dihukumi masa suci hal itu
pastilah akan menyulitkan penghitungan masa iddah berdasarkan quru�
(haid dan suci), dan juga akan memberatkan karena harus keramas beberapa
kali. Padahal tiadaklah syari�at itu menyulitkan.
c. Terjadi pengeringan darah, yakni, seorang wanita
tidak mendapatkan selain lembab atau basah saja di kemaluannya. Jika hal
ini terjadi pada saat masa haid atau bersambung dengan haid sebelum
suci, maka dihukumi sebagai haid. Tetapi jika terjadi setelah masa suci,
maka tidak termasuk haid.
Sifat Darah Haid
Darah haid pada umumnya
berwarna merah kehitaman dan berbau tidak sedap dan keluarnya tidak
mengucur seperti keluarnya urine, serta terjadi pada kelaziman masa
haid. Seorang wanita yang mendapati darahnya berwarna kuning seperti
nanah atau keruh antara kekuning-kuningan dan kehitam-hitaman, jika hal
itu terjadi pada saat masa haid atau bersambung dengan haid sebelum
suci, maka itu adalah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid.Tetapi
jika terjadi sesudah masa suci, maka hal itu bukan lah darah haid. Hal
ini berdasarkan riwayat dari Ummu Athiyah Radhiyallahu �anha:
“Kami tidak menganggap apa-apa darah yang berwarna kuning atau keruh sesudah suci”. (HR Abu Dawud)
Demikian juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari tentang
hadist yang menceritakan bahwa kaum wanita pernah mengirimkan kepada
Aisyah sehelai kain berisi kapas yang terdapat padanya darah berwarna
kuning. Maka Aisyah berkata:
“Janganlah tergesa-gesa sebelum kamu melihat lendir putih”, yaitu cairan putih yang keluar saat habis masa haid.
Hukum-Hukum Seputar Haid
a. Shalat, diharamkan bagi wanita haid
mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunat dan tidak perlu
meng-qadha-nya setelah suci, kecuali jika ia mendapatkan sebagian dari
waktunya sebanyak satu rakaat sempurna, baik pada awal maupun akhir
waktu shalat tersebut. Contoh pada awal waktu, seorang wanita
mendapatkan haid sesaat sebelum matahari terbenam, dan waktu yang sesaat
tadi cukup untuk melakukan satu rakaat sempurna, maka wajib baginya
untuk meng-qadha shalat maghrib yang tertinggal tersebut setelah ia
suci. Contoh di akhir waktu seorang wanita suci dari haid sebelum
matahari terbit dan masih sempat mendapatkaan satu rakaat dari waktu
tersebut, maka wajib baginya untuk segera bersuci dan meng-qadha� shalat
shubuh yang tertinggal. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh
muttafaqun �alaih bahwasannya Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu”.
b. Puasa, diharamkan bagi wanita haid berpuasa
dan berhak meng-qadha�nya di hari lain jika yang ditinggalkannya
merupakan puasa wajib. Berdasarkan hadist dari Aisyah Radhiyallahu
�anha:
“Ketika kami mengalami haid, diperintahkan kepada kami meng-qadha� puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha� shalat” (Muttafaqun �alaih)
Seorang wanita yang mendapatkan haid ketika dia
sedang berpuasa, maka wajib membatalkannya walaupun hal itu terjadi
sesaat menjelang maghrib. Juga jika pada saat terbitnya fajar dia masih
haid maka tidak sah berpuasa, sekalipun sesaat setelah fajar dia sudah
suci. Dan sebaliknya jika seorang wanita mendapati dirinya suci sesaat
sebelum fajar, maka dia wajib puasa (puasa wajib) walaupun baru mandi
suci setelah fajar.
c. Membaca Al-Qur�an, walaupun tidak ada dalil qath�i
yang melarang wanita haid untuk membaca Al-qur�an, tetapi banyak ulama
yang mengharamkannya. Syaikh utsaimin mengomentari perbedaan pendapat
dikalangan ulama tentang hal ini dengan mengatakan bahwa lebih utama
bagi wanita haid tidak membaca Al-Qur�an secara lisan, kecuali jika
diperlukan. Misalnya seorang guru yang sedang mengajar murid-muridnya,
atau siswa yang sedang belajar dikelas. Adapun aktivitas dzikr yang lain
diperbolehkan bahkan dianjurkan.
d. Thawaf, diharamkan bagi wanita haid melakukan
thawaf di ka�bah, baik yang wajib maupun yang sunat. Dalilnya bisa kita
baca kembali hadist Aisyah diatas.
e. Thawaf wada�, yaitu terakhir yang dilakukan oleh
jama�ah haji sebelum meninggalkan Baitullah. Diperbolehkan seorang
wanita yang haid meninggalkan thawaf ini, sebagaimana sabda
Rasulullah:”Diperintahkan kepada jamaah haji agar saat-saat terakhir
bagi mereka berada di Baitullah (melakukan thawaf wada�), hanya saja hal
itu tidak dibebankan kepada wanita haid.” (Muttafaqun �alaih
f. Berdiam dalam masjid, diharamkan wanita berdiam
diri didalam masjid bahkan di tempat shalat ied juga. Berdasarkan hadist
Ummu Athiyah r.a.:”Agar keluar para gadis, perawan dan wanita
haid�Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat”. (Muttafaqun �alaih)
g. Jima� (senggama), diharamkan bagi seorang suami
menggauli istrinya sampai benar-benar dia dalam keadaan suci. Diharamkan
pula bagi sang istri memberi kesempatan kepada suami untuk melakukan
hal tersebut. Dalilnya dapat kita lihat kembali dalam Qs. Al-Baqarah
ayat 222 diatas. Rasulullah bersabda dalam hadist yang diriwayatkan oleh
Muslim, “Lakukan apa saja, kecuali nikah”, nikah disini adalah jima�.
Adapun bercumbu diperbolehkan asal tidak sampai jima�.
Selain hal-hal diatas, hukum haid juga berkaitan
dengan hukum-hukum warisan dan talaq yang mungkin bisa dibahas dilain
kesempatan.
Mandi Besar di Akhir Masa Haid
Wanita haid wajib mandi setelah suci dengan
membersihkan seluruh badannya. Berdasarkan sabda Nabi SAW kepada Fatimah
binti Abu Hubaisy:
“Bila kamu kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila telah suci mandilah dan kerjakan shalat.” (HR. Bukhari)
Tata cara mandi sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah tatkala ditanya oleh Asma binti Syakl adalah sebagai berikut:
1. Membersihkan kedua belah tangan
2. mengambil air dan daun bidara dan berwudhu sempurna dengannya (daun bidara bisa diganti dengan sabun)
3. mengguyur air di atas kepala dengan menggosokkannya hingga merata
4. Mengguyur air pada anggota badan hingga bersih
5. Membersihkan tempat haid dengan kain yang telah
diberi pengharum (mengikuti bekas aliran darah). Point terakhir ini lah
yang membedakan tata cara mandi besar wanita setelah haid dengan mandi
besar karena junub.
(HR. Muslim)
Dan bagi wanita yang berambut panjang atau lebat bisa
tidak melepas gelungan rambutnya, asalkan gelungan tersebut tidak
terlalu kuat sehingga air masih bisa sampai ke dasar rambut sebagaimana
yang terjadi dikalangan shahabiyah zaman dahulu (shahih muslim). Musafir
yang tidak menemukan air dalam perjalanannya, atau orang sakit yang
bila terkena air akan bertambah parah, bisa dengan tayammum. Wallahu a�lam bi shawwab.
Maroji�:
Darah, Kebiasaan Wanita. Syaikh Utsaimin
Bulughul Maram, Ibnu Hajar Al-atsqalani
Jami�ah Ahkamun-nisa�, Syaikh Mustofa Al-Adawy. Resume kajian. 2000
Masalah Aktual Muslimah, Syaikh Bin Baz dan Syaikh Utsaimin
-mengqadha 2 wkt shalat diantara waktu ia suci.misal:suci wkt ashar,maka ia hrus mengqadha wkt dhuhurshubuh u/menjaga khati2an.
-shalat,ketika ia dpt haid,misal wkt dhuhur ia belum haid,tp blm shlt.tp,misal jm2 hendak wudhu keluar haid.maka wkt dhuhur yg trtinggal itu wajib dqadha 1mg(wktny brbeda u/stiap wanita) kmudian stlah dia suci u/menjaga khati2an.
Saya terusterang bingung.karena baru dengarterjadi perdbatan diantara shbt2 sy,krn qt membaca dr buku: Fikih wanita edisi lengkap,penerbit pustaka al kautsar:ctakanke 4 thn2007.karangan Syaikh kamil muhamad uwaidah,pnerjemahnya M.abdul ghofar.tlg email sy u/kjelasan infony y.jzkmllh.
Betulkah fikih wanita trbaru mengharuskn wnita yg tlh brsih dr haid u/:
-mengqadha 2 wkt shalat diantara waktu ia suci.misal:suci wkt ashar,maka ia hrus mengqadha wkt dhuhurshubuh u/menjaga khati2an.
-shalat,ketika ia dpt haid,misal wkt dhuhur ia belum haid,tp blm shlt.tp,misal jm2 hendak wudhu keluar haid.maka wkt dhuhur yg trtinggal itu wajib dqadha 1mg(wktny brbeda u/stiap wanita) kmudian stlah dia suci u/menjaga khati2an.
Saya terusterang bingung.karena baru dengarterjadi perdbatan diantara shbt2 sy,krn qt membaca dr buku: Fikih wanita edisi lengkap,penerbit pustaka al kautsar:ctakanke 4 thn2007.karangan Syaikh kamil muhamad uwaidah,pnerjemahnya M.abdul ghofar.tlg email sy u/kjelasan infony y.jzkmllh.